Dilema Penutupan Tambang Ilegal di Boltim, di Tengah Pandemi Covid-19 dan PPKM

Oleh: Buyung Algiffari Potabuga*

TERKAIT dengan isu penutupan pertambangan ilegal di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim) di tengah pandemi Covid-19 dan PPKM yang diterapkan saat ini, apalagi sekarang menjelang Bulan Suci Rhamadan bagi umat Islam. Dimana banyak masyarakat Boltim hanya bergantung pada pertambangan ilegal. Maka, menjadi sangat dilematis ketika kita memakai “kacamata kuda” dalam persoalan penutupan tambang-tambang ilegal di Boltim. Semisal, oh.. ini tambang ilegal, sikat dan harus tutup.

Padahal di sisi lain, di sana ada warga, rakyat kecil yang sedang mengais rezeki dengan mempertaruhkan nyawa mereka demi bulir-bulir emas yang juga belum tentu ia dapat. Atau mungkin dapat, tapi itu hanya mencukupi kebutuhan harian atau bulanan mereka saja. Tak luput, ada pula penambang tradisional yang malah gulung tikar.

Seperti contoh di lokasi Garini, Kotabunan, Simbalang, pantai Motongkad, Mintu’, dan Tobongon, apakah penambang tradisional di sana harus juga dibubarkan karena ilegal?

Bukankah di Boltim tambang yang resmi hanya PT ASA (Arafura Surya Alam) dan KUD Nomontang? (Atau ada yang lain tapi saya belum mendapat informasi).

Di sini saya sedikit berharap, atau ingin menggugah rasa iba, supaya kita bisa membujuk hati kita, agar sedikit menoleh pada panggilan nurani kemanusiaan. Bahwa di balik hukum yang mesti tegak, ada persoalan kemanusiaan yang butuh peduli dari kita.

Penambang lokal, penambang manual, memang mengais emas, tapi bukan lantas berarti hidupnya juga ikut bersinar seperti emas.

Apalagi di tengah pandemi Covid-19 dan juga sekarang ini sudah hampir memasuki Bulan Suci Ramadhan bagi umat Islam. Pertanyaannya, ke mana kita akan mengusir mereka (penambang tradisional lokal) untuk mencari rezeki dengan memindahkan mereka dari pertambangan yang kita sebut ilegal?

Jika boleh, saya di sini meminta agar kita sedikit bersabar.

Sebagai media tentunya harus memilah mana berita urgensi, penting dan bermanfaat bagi masyarakat tanpa ditunggangi pihak mana pun.

Sebagai pihak berwajib dalam hal ini kepolisian, saya percaya dalam penindakan, pihak berwajib tahu dengan betul, mana penambang yang hanya sekedar mengais rezeki untuk keluarga kecil mereka, dan mana pengusaha tambang yang memperkaya diri dengan memonopoli tambang yang kita sebut ilegal.

Dalam hal ini, kepercayaan ini saya gantungkan sepenuhnya kepada Kasat Reskrim sebagai perpanjangan tangan Bapak Kapolres. Dan hari ini saya percaya terhadap beliau.

Sebagai pemerintah kabupaten Bolaang Mongondow Timur, saya meminta agar mempercepat proses penetapan wilayah WPR untuk delapan titik di Boltim agar masyarakat secepatnya bisa punya jaminan keamanan untuk menambang di tanah air yang sejatinya milik mereka sendiri.

Untuk rakyat Boltim, jangan termakan provokasi pihak-pihak yang tak bertanggung jawab.

Dan terakhir untuk pihak DPRD Boltim, sebenarnya saya tidak terlalu peduli. Sebab banyak oknum-oknum dari mereka memang tak berguna dalam pandangan pribadi saya. Di sana saya hanya menghormati beberapa di antara mereka, yang sampai hari ini masih berdiri bersama rakyat.

Karena mereka yang baik inilah DPRD Boltim masih terlihat “ada” hingga hari ini. Untuk kalian yang baik, tetaplah bersama rakyat.

DPRD itu mulia, ‘suara rakyat suara Tuhan’. Sebagai wakil dari rakyat berarti mewakili suara Tuhan. Bertanggung jawablah akan hal itu.

(*Penulis adalah warga Kabupaten Boltim yang berprofesi sebagai jurnalis di salah satu media online di Sulut)

Pos terkait